Pengertian Sains 03.35

Sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah. Pendidikan Sains di sekolah dasar bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan
alam sekitar.

Pendidikan Sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung dan kegiatan praktis untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan Sains diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat” sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Belajar Sebagai Peningkatan Kemampuan Berpikir 03.13

Belajar merupakan suatu proses dalam diri seseorang yang berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman (Gagne dalam Ratna W. Dahar, 1989: 11). Menurut Piaget, perubahan yang dimaksud adalah perubahan kemajuan dalam segi intelektual (berpikir). Sedangkan pengalaman adalah kegiatan belajar. Untuk anak usia SD pengalaman didapat melalui pengamatan pada benda konkrit (Carin & Sund, 1989: 29-30) dan kegiatan memanipulasi benda (Skolnick et al., 1988: 52). Dalam peristiwa ini anak melakukan proses-proses fisik seperti mengamati hal-hal yang ada pada obyek untuk menemukan fakta yang ada pada obyek tersebut (pengalaman fisik). Fakta-fakta yang ditemukan dari hasil pengamatan terhadap obyek kemudian diolah oleh subyek dengan tujuan, misalnya mencari hubungan-hubungan, pengertian, pemahaman dan penerapan pengetahuan tentang objek (pengalaman logika matematika). Proses ini merupakan kegiatan berpikir. Dalam setiap kegiatan belajar selalu ada unsur-unsur tersebut, oleh karena itu kegiatan belajar dengan kondisi memperkaya pengalaman yang bermakna akan memperkaya kemampuan berpikir (Carin & Sund, 1989: 22).

Siswa yang aktif belajar akan memperoleh informasi yang fungsional (Tyler, 1949: 72). Hal ini bermanfaat bagi siswa agar dapat menyelesaikan permasalahan. Untuk itu kegiatan belajar siswa dilaksanakan dalam kelompok belajar karena dengan cara ini dapat membantu siswa berpikir dan menyelesaikan masalah bersama-sama, serta berhasil menyelesaikan tugas-tugas (Costa et al., 1988: 177; O'Leary & Dishon, 1988: 179).

Kemampuan Berpikir konservasi 03.10

Di atas telah disebutkan bahwa perkembangan intelektual anak pada tahap operasional konkrit salah satunya adalah memiliki pemahaman konservasi. Secara umum prinsip konservasi dapat dinyatakan bahwa selama suatu obyek (benda) tidak ditambah atau dikurangi, maka karakteristik-karakteristik tertentu dari obyek (benda) itu tidak berubah (tetap sama) meskipun pada obyek (benda) itu telah dilakukan transformasi-transformasi.

Menurut Carin & Sund (1989: 34) terdapat tujuh jenis konservasi yang berkembang di dalam struktur kognitif anak pada tahap operasional konkrit. Ketujuh jenis konservasi itu adalah:

1) Konservasi substansi atau kuantitas zat padat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Banyaknya zat suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Sebungkus kerupuk tidak akan bertambah atau berkurang banyaknya meskipun dihancurkan. Sebuah mangga tidak akan bertambah banyak meskipun diiris kecil-kecil.

2) Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Panjang suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Seekor semut akan menempuh jarak yang sama pada seutas kawat, baik kawat itu dalam keadaan lurus maupun dibengkok-bengkokkan.

3) Konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-7 tahun; "Jumlah suatu zat cair dalam suatu bejana adalah tetap meskipun dipindahkan ke bejana-bejana lain yang berlainan ukuran"

4) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6,5 - 7 tahun; "Banyaknya elemen suatu obyek adalah tetap meskipun tempatnya diubah". Jumlah kelereng pada mangkuk tidak akan berubah jumlahnya meskipun dipindahkan ke dalam gelas ukuran.

5) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 7 tahun; "Luas suatu obyek yang ditutup dengan suatu bangun geometris, akan tetap sama dengan cara bagaimanapun menutupnya". Luas beberapa petak yang tertutup oleh sejumlah kartu remi akan tetap sama meskipun cara menutupnya berbeda-beda.

6) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9 - 12 tahun; "Berat suatu obyek di suatu tempat adalah tetap meskipun bentuknya berubah". Berat planit bumi adalah tetap meskipun bentuknya dari zaman ke zaman berubah.

7) Konservasi volume, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11 - 12 tahun lebih. "Volume suatu zat akan tetap sama meskipun wadah yang ditempatinya berubah".

Sementara hasil penelitian lain yang dilakukan Piaget dkk. dalam Good (1977:108) mengungkapkan 11 jenis konservasi pada tahap ini. Kesebelas jenis konservasi tersebut adalah:

1) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
2) Konservasi paralelisme (parallelism), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
3) Konservasi sudut, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun;
4) Konservasi jarak, pada saat anak berusia rata-rata 7-8 tahun;
5)Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
6) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-11 tahun;
7) Konservasi volume bagian dalam (internal volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
8) Konservasi pemindahan volume (displacement volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11-15 tahun;
9) Konservasi kecepatan yang sama (uniform speed), pada saat anak rata-rata berusia sekitar10-12 tahun;
10) Konservasi kuantitas kontinyu, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-10 tahun;
11) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun.

Carin & Sund mencurahkan perhatiannya pada tujuh jenis konservasi, sedangkan Good mengungkap konservasi lainnya. Dari kedua literatur tersebut terdapat perbedaan usia anak pada saat memiliki pemahaman konservasi hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan faktor sosial, budaya, dan pengalaman belajar suyek yang diteliti (La Maronta Galib, 1992: 97). Penguasaan konservasi merupakan hal yang penting untuk membekali siswa supaya mampu/cakap dalam belajar (Carin & Sund, 1989: 34). Oleh karena itu dalam pengalaman belajar, siswa perlu diberi tugas-tugas (task) yang menyangkut konservasi supaya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah konservasi.

Kemampuan berpikir anak pada tujuh jenis konservasi di atas dapat diungkap dengan memberi tugas (task) konservasi seperti berikut. Pertama, pada konservasi substansi atau kuantitas zat padat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama besar. Kemudian salah satu dari plastisin itu diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas plastisin yang diubah bentuknya dengan yang tidak diubah, supaya anak memberikan jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas zat padat akan menjawab bahwa plastisin sama banyaknya karena, misalnya hanya diubah bentuk atau karena plastisinnya tetap yang tadi.

Kedua, pada konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair; anak dihadapkan kepada dua buah gelas yang sama besar dan berisi air sama banyak, kemudian air dari salah satu gelas dipindahkan ke dalam mangkuk. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas air yang ada di dalam mangkuk dengan yang ada di dalam gelas, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas cat cair akan menjawab bahwa banyaknya air adalah sama karena, misalnya airnya yang tadi juga atau karena hanya dipindahkan saja.

Ketiga, pada konservasi panjang; anak dihadapkan kepada dua potong kawat yang panjangnya sama, kemudian salah satu kawat diubah bentuknya menjadi sebuah lingkaran. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai panjang kawat yang berbentuk lingkaran dengan panjang kawat yang tidak diubah bentuk, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi panjang akan menjawab bahwa panjang kawat berbentuk lingkaran sama panjang dengan kawat yang tidak diubah bentuk karena, misalnya kawatnya hanya dilengkungkan dan tidak dipotong.

Keempat, pada konservasi bilangan atau jumlah; anak dihadapkan kepada dua kumpulan kancing yang jumlahnya sama, kemudian salah satu kumpulan kancing disimpan tersebar dalam tempat yang luas. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai jumlah kancing yang tersebar pada tempat yang luas dengan kancing yang terkumpul, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi jumlah akan menjawab bahwa jumlah kancing pada dua tempat yang berbeda adalah sama karena misalnya, kancingnya masih yang tadi.

Kelima, pada konservasi luas; anak dihadapkan kepada dua lembar kertas dengan bentuk dan ukuran yang sama (misalnya daerah persegi), kemudian salah satu kertas diubah bentuk menjadi daerah segitiga yang terbentuk dari dua daerah segitiga. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai luas daerah segitiga dengan luas daerah persegi, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi luas akan menjawab bahwa luas daerah segitiga (luas jumlah dua daerah segitiga) sama dengan luas daerah persegi karena misalnya, bentuk daerah segitiga dibentuk dengan mengubah daerah persegi.

Keenam, pada konservasi berat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama berat. Kemudian salah satu plastisin diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai berat kedua plastisin, supaya anak memberi jawaban beserta alasanya. Anak yang menguasai konservasi berat akan menjawab bahwa kedua plastisin sama beratnya karena misalnya, tidak ada plastisin yang diambil.

Ketujuh, pada konservasi volume; anak dihadapkan kepada sebuah plastisin dan sebuah gelas ukur berisi air, kemudian plastisin dicelupkan kedalam gelas berisi air dan mengamati perubahan permukaan airnya, berikutnya plastisin diubah bentuk dan dicelupkan lagi pada gelas yang berisi air tadi serta mengamati perubahan permukaan air di dalam gelas . Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai volume/isi plastisin sebelum dan sesuadah diubah bentuk, supaya memberi jawaban beserta alasannya. Anak yang memiliki konservasi volume/isi akan menjawab bahwa plastisin sebelum dan sesudah diubah bentuk volume/isi nya sama karena misalnya, plastisinnya tidak ditambah atau dikurang.

Memasukkan masalah-masalah konservasi dalam kegiatan belajar sains dapat memunculkan tiga aspek kemampuan berpikir logis anak yaitu kemampuan berpikir identitas (identity), kompensasi (compensation), dan reversibel (reversibility) (Labinowicz, 1980: 73; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir identitas (identity), adalah kemampuan memahami suatu obyek (benda) yang jika tidak ditambah atau dikurang maka materinya akan tetap (sama) walaupun dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir kompensasi (compensation), adalah kemampuan memahami bahwa materi suatu zat (zat cair) yang tidak ditambah atau dikurang hanya berubah bentuknya apabila ditempatkan pada tempat yang berbeda-beda. Kemampuan berpikir reversibel, adalah kemampuan memahami bahwa suatu obyek (benda) dapat dikembalikan seperti semula karena pada waktu dilakukan transformasi-transformasi tidak ditambah atau dikurang.

Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif 03.05

Menurut Piaget (Carin & Sund, 1989:23-47; Ratna W. Dahar, 1989:152-156) perkembangan intelektual seseorang melalui empat tahap berurutan, yaitu:

a) tahap sensori motor dalam rata-rata usia sekitar 0-2 tahun,
b) tahap praoperasional dalam rata-rata usia sekitar 2-7 tahun,
c) tahap operasional konkrit dalam rata-rata usia sekitar 7-11 tahun, dan d) tahap operasional formal dalam rata-rata usia sekitar 11 tahun keatas.

Perubahan dari tahap yang satu ke tahap lain kecepatannya tidak pasti (berbeda) untuk masing-masing individu. Oleh karena itu bila anak yang berada pada tahap tertentu dapat dengan cepat berubah ke tahap berikutnya, maka perubahan yang terjadi boleh jadi disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang, kemampuan, ketangkasan, dan upaya anak. Penentuan rentang usia pun, tidak berlaku pasti, tetapi merupakan rata-rata. Meskipun demikian urutan tahap dalam melampaui satu tahap ke tahap berikutnya selalu sama, tidak ada individu yang loncat tahap. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan adanya individu yang tidak sampai ke tahap operasional formal. Inhelder dalam studi doktoralnya menemukan anak usia tahap operasional formal yang mentalnya terbelakang ternyata kemampuan intelektual tidak pada tahap operasional formal (Carin & Sund, 1989:24). Setiap tahap perkembangan ditandai pula oleh pola penalaran yang khas. Garis besar gambaran pola penalaran anak pada masing-masing tahap perkembangan diketahui dari ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut.

Tahap sensori motor adalah tahap pertama dalam perkembangan intelektual, pada tahap ini anak memiliki tingkah laku yang didominasi oleh gerakan-gerakan refleks atau bersifat motorik. Gerakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh stimulus. Dominasi gerakan refleks pada tahap ini lambat laun berkurang seiring dengan berkembangnya daya pikir. Perkembangan ini didapat melalui pengalaman belajar merasakan dan mengenal obyek, sehingga pada akhir tahap ini anak dapat "membedakan". Misalnya; anak sudah tahu orang tuanya, nama-nama benda, binatang.

Tahap praoperasional adalah tahap kedua dalam perkembangan intelektual. Tahap ini merupakan tahap persiapan dalam pengorganisasian operasi konkrit. Tahap ini dapat dibagi ke dalam tahap berpikir pra-logis dan tahap berpikir intuitif. Tahap berpikir pra-logis berada pada rata-rata usia sekitar 2 - 4 tahun. Pada tahap ini anak memiliki penalaran transduktif yaitu suatu penalaran yang bergerak dari khusus ke khusus. Tahap berpikir intuitif berada pada rata-rata usia sekitar 4 - 7 tahun. Pada tahap ini anak dapat menilai dan mempertimbangkan atas dasar persepsi pengalaman sendiri, oleh karena itu anak pada tahap ini bersifat egosentris. Hal lain yaitu anak berpikir ireversibel, berpikir statis, dan concreteness.

Berpikir ireversibel yaitu belum dapat berpikir kebalikan dari cara berpikir semula. Artinya anak tidak mampu memahami suatu transformasi atau perubahan-perubahan urutan dalam suatu peristiwa. Berpikir statis adalah salah satu ciri anak pada tahap preoperasional. Dengan kata lain anak pada tahap ini tidak menggunakan macam-macam operasi, melainkan hanya tertuju pada satu dimensi serta tidak memperhatikan gerakan-gerakan perubahan. Concreteness adalah kemampuan berpikir anak masih berorientasi pada hal-hal yang konkrit. Anak belum mampu memahami hal-hal yang abstrak atau yang direpresentasikan secara verbal (Ratna W. Dahar, 1989:153; Good, 1977:153; Carin & Sund, 1989:27; Woolfolk & Nicolich, 1980:55-56). Pada akhir tahap ini merupakan saat transisi ke operasional konkrit, disini mungkin saja terjadi penguasaan konservasi panjang, bilangan, dan kuantitas.

Tahap operasional konkrit adalah tahap ketiga dari tahap perkem-bangan intelektual. Tahap ini berada pada saat anak-anak usia SD. Tahap ini merupakan permulaan berpikir rasional. Pada tahap operasional konkrit anak mampu berpikir logis melalui obyek-obyek konkrit, dan sulit memahami hal-hal yang hanya direpresentasikan secara verbal (Sund; Becker, Engelman & Thomas; Bolton; Beard & Hunt dalam La Maronta Galib, 1992:22). Peristiwa berpikir dan belajar anak pada tahap ini sebagian besar melalui pengalaman yang nyata (Carin & Sund, 1989:29) yang berawal dari proses interaksi anak dengan obyek (benda) bukan dengan lambang, gagasan ataupun abstraksi. Dengan kata lain anak-anak pada tahap ini belum mampu melakukan proses berpikir yang abstrak, belum mampu belajar dengan baik tentang proses sains yang abstrak (seperti tentang peristiwa photosintesa), serta selalu mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang abstrak, seperti mempelajari konsep gravitasi (Carin & Sund, 1989:30). Meskipun demikian anak pada tahap ini memiliki operasi yang dapat dikembangkan yaitu operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, klasifikasi, kores-pondensi, penempatan urutan. Juga menguasai pengukuran dan konservasi volume, berat dan luas (Carin & Sund, 1989:30,37; Ratna W. Dahar, 1989:154; Good, 1977:106-109).

Disamping beberapa ciri yang telah disebutkan di atas, anak-anak tahap operasional konkrit sudah memperlihatkan kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity), reversibilitas (reversibility), asosiatif (asso-siative), dan identitas (identity) (Ratna W. Dahar, 1989: 154; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity) adalah kemampuan mengadakan berbagai kombinasi dari macam-macam hubungan. Contoh, anak dapat menyimpulkan bahwa A lebih besar dari C, apabila A lebih besar dari B dan B lebih besar dari C. Atau A sama dengan C, karena A sama dengan B dan B sama dengan C (pemahaman transitif).

Kemampuan berpikir reversibilitas (reversibility) adalah kemampuan berpikir atau melakukan operasi-operasi sebagai kebalikan dari cara berpikir semula. Operasi yang dapat dilakukan seperti operasi logis atau matematis yang dapat dihadapkan dengan operasi yang berlawanan. Contohnya, semua makhluk - semua makhluk tak hidup = semua makhluk tak hidup dan semua makhluk hidup + semua makhluk tak hidup = semua makhluk. Reversibilitas ini merupakan sifat esensial dalam sistem kognisi, penguasaannya, penting untuk dapat memahami konsep-konsep sains dan matematika (Piaget & Bruner, dalam La Maronta Galib, 1992: 23).

Kemampuan berpikir asosiatif (assosiative) adalah kemampuan untuk mencapai suatu jawaban dengan menggunakan beberapa cara yang menghubung-kan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu objek atau peristiwa. Kemampuan berpikir ini misalnya ditunjukkan oleh kemampuan menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki orang tua; Tidak ada ikan yang hidup di darat, karena semua ikan yang ditemukan selalu bercirikan tempat hidupnya air.

Kemampuan berpikir identitas (identity) adalah kemampuan memahami sifat-sifat tertentu dari suatu objek yang tidak berubah bila tidak ditambah atau dikurangi. Dalam hal ini keadaan menjadi sama atau serupa dalam aspek-aspek tertentu meskipun telah dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir ini sangat berkaitan dengan kemampuan berpikir konservasi (ketetapan).

Mengacu pada teori di atas maka anak pada tahap operasional konkrit tidak mudah dikelabui oleh perbedaan-perbedaan persepsi seperti yang terjadi pada anak preoperasional. Oleh karena itu anak pada tahap operasional konkrit sudah memiliki pemahaman konservasi. Artinya anak pada tahap operasional konkrit sudah dapat melakukan perubahan-perubahan suatu "obyek" secara fisik, dan menyatakan bahwa perubahan bentuk, posisi, dan sebagainya tidak akan merubah jumlah proporsi obyek tersebut (Moh. Amien, 1987: 61; Woolfolk & Nicolich, 1980: 56). Namun demikian hasil penelitian di USA membuktikan bahwa sejumlah besar siswa sekolah menengah atas masih mempunyai kesulitan dalam memahami konservasi (Moh. Amien, 1987: 62).

Tahap operasional formal adalah tahap akhir dari perkembangan intelektual menurut Piaget, sebab setelah itu tidak terjadi lagi peningkatan kualitas intelektual. Berbeda dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya, anak operasional formal mampu melakukan penalaran dengan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi-generalisasi. Artinya anak-anak operasional formal sudah bisa menggunakan operasi logisnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat verbal, rumit, dan kompleks. Disini logika sudah menjadi alat berpikir anak ini sehingga ia mampu melakukan operasi terhadap operasi. Artinya anak bisa melakukan operasi dengan tidak mengacu pada obyek, tetapi pada sumber yang ditangkap dari relasi yang terkandung dalam informasi (operasi-operasi) yang diberikan dan menggunakannya untuk menemukan hubungan.

Dengan memperhatikan kemampuan-kemampuan tersebut, kita dapat membedakan anak yang berada pada tahap operasional formal dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya. Misalnya untuk mengetahui tahap perkembangan anak yang dilakukan dengan memberi tugas (task) konservasi; reaksi dari anak tahap operasional konkrit berbeda dengan anak tahap operasional formal. Boleh jadi bagi anak tahap operasional formal tidak menanggapinya dengan serius karena baginya masalah tersebut sudah jelas.

Faktor-faktor Penunjang Perkembangan Kognitif 03.03

Berdasarkan hasil studi Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 157-158; Moh. Amien, 1987: 46; Woolfolk & Nicolich, 1980: 50-51), terdapat lima faktor yang mempengaruhi seseorang pindah tahap perkembangan intelektualnya. Kelima faktor itu adalah: kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), pengalaman logika matematika (logico-methematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan ekuilibrasi (equilibration).

Kematangan yaitu proses perubahan fisiologis dan anatomis, proses pertumbuhan tubuh, sel-sel otak, sistem saraf dan manifestasi lainnya yang mempengaruhi perkembangan kognitif. Kematangan mempunyai peran yang penting dalam perkembangan intelektual. Hal ini ditunjukkan oleh hasil beberapa penelitian yang membuktikan adanya perbedaan rata-rata usia anak pada tahap perkembangan yang sama pada satu masyarakat dengan masyarakat lain yang berbeda (La Maronta Galib, 1992: 36-43 & 97; Harry, 1983: 40 & 97).

Pengalaman fisik yaitu pengalaman yang melibatkan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik, memanipulasi obyek-obyek di sekitarnya dan membuat abstraksi dari obyek tersebut. Melalui pengalaman fisik akan terbentuk pengetahuan fisik dalam diri individu, karena pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda yang ada "di luar" dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).

Pengalaman logika matematika yaitu pengalaman membangun hubungan-hubungan atau membuat abstraksi yang didapat dari hasil interaksi terhadap obyek. Dengan pengalaman logika matematika akan terbentuk pengetahuan logika matematika dalam diri individu. Pengetahuan logika matematika merupakan hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan diperlakukan pada obyek-obyek (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).

Transmisi sosial yaitu proses interaksi sosial dalam menyerap unsur-unsur budaya yang berfungsi mengembangkan struktur kognitif. Hal ini dapat terjadi melalui informasi yang datang dari orang tua, guru, teman, media cetak dan media elektronik. Dengan adanya transmisi sosial akan terbentuk pengetahuan sosial dalam diri individu. Pengetahuan sosial merupakan pengetahuan yang didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia (Carin & Sund, 1989:38-39; Kamii, 1978:37). Pengetahuan sosial dan pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang isi yang bersumber dari kenyataan yang ada "di luar", sementara pengetahuan logika matematik mengkonstruksi keadaan nyata tersebut melalui pikiran.

Ekuilibrasi yaitu kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode ketidakseimbangan. Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi. Pada proses ini mengintegrasikan faktor-faktor kematangan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematika, dan transmisi sosial (Kamii, 1978:48)

Dalam pembentukan pengetahuan, yang berperan sangat besar adalah faktor pengaturan sendiri (self-regulation) atau ekuilibrasi (equilibration). Berdasarkan hasil temuannya, Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 159) mengungkapkan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Oleh karena itu pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran anak didiknya, tetapi melalui pemerolehan yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Terlebih lagi yang menyangkut pada pembentukan pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik. Pengetahuan ini dibangun sendiri oleh anak melalui pengalaman dengan adanya peristiwa interaksi antara struktur kognisi awal yang dimilikinya dengan informasi dari lingkungan.

Konflik kognitif terjadi pada saat berlangsung interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki anak dengan adanya fenomena-fenomena baru yang ditemui anak. Fenomena baru dengan konsepsi awal tidak dapat dintegrasikan begitu saja. Pengintegrasian memerlukan suatu modifikasi atau perubahan struktur kognitif anak agar mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan tetap terjadi selama anak menerima pengetahuan baru.

Di sekolah peristiwa ini terjadi melalui pembelajaran. Oleh karena itu konflik kognitif dapat diatasi dengan belajar, yang merupakan proses pengaturan sendiri (self regulation) dalam mencapai kesetimbangan/ ekuilibrasi (equilibration) untuk selanjutnya berakhir pada konstruksi pengetahuan oleh anak yang berdasarkan pengalaman melalui interaksi dengan obyek.

Teori Dasar Perkembangan Kognitif 02.59

Menurut psikologi kognitif, manusia (organisme) memiliki cara tersendiri untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:150; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) kemajuan atau perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi pada aktivitas kognitif organisme yaitu, organisasi dan adaptasi. Organisasi memberi kemampuan pada organisme untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Dengan organisasi struktur fisik dan struktur psikologis diintegrasikan menjadi struktur intelektual tingkat tinggi.

Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi. Arti adaptasi disini adalah adaptasi terhadap informasi yang datang dari "luar" ke dalam kognisi. Adaptasi ini dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang datang dari luar. Asimilasi dapat diartikan sebagai penyerapan dan pengintegrasian pengalaman-pengalaman baru kepada stuktur intelektual yang sudah ada. Dalam istilah perkembangan intelektual, anak telah mengalami proses belajar. Karena disini anak telah dapat menentukan hubungan antara pengalaman yang telah ia miliki dengan masalah yang datang dari luar (stimulus) dan merespon stimulus tersebut sehingga anak menjadi paham.

Stimulus yang diterima tidak selalu dapat diasimilasikan dengan struktur yang ada karena, tidak ada struktur yang tepat untuk stimulus itu. Dalam hal seperti ini anak dapat berbuat salah satu atau keduanya dari cara sebagai berikut: a) mengganti struktur yang lama dengan struktur yang baru, b) mengubah struktur yang ada sehingga stimulus baru menjadi cocok. Proses ini disebut akomodasi. Jadi dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap masalah yang datang dari luar.

Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:151; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) adaptasi terbentuk karena adanya proses asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut fungsional terhadap perkembangan kognitif yang senantiasa berfungsi dan komplementer pada setiap tingkat perkembangan intelektual. Bila proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Ketidakseimbangan ini menimbulkan akomodasi, yaitu terjadinya perubahan struktur yang ada atau timbul struktur yang baru sampai mencapai keseimbangan. Peristiwa ini disebut ekuilibrasi, yaitu proses perubahan mental seseorang dari keadaan tidak seimbang menjadi seimbang. Namun keadaan ini tidak statis, selalu ada pertumbuhan intelektual yang berupa proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keseimbangan (disequilibrium dan equilibrium). Bila hal ini terjadi pada individu maka ia selalu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi dibanding dengan sebelumnya.

Proses asimilasi dan akomodasi dapat diterapkan pada kegiatan belajar di kelas. Adakalanya perkembangan kognitif siswa sebagian tergantung pada akomodasi. Disini siswa harus masuk pada area yang tidak dikenal untuk dapat belajar. Ia tidak dapat hanya mempelajari apa yang telah diketahuinya, dengan kata lain ia tidak dapat hanya mengandalkan asimilasi. Bila dalam proses belajar siswa tidak mendapatkan hal-hal yang baru, siswa mengalami "over asimilation", dan bila dalam proses belajar siswa tidak mengerti, berarti siswa mengalami "over accomodation". Kedua hal ini tidak memperlancar perkembangan kognitif siswa, maka perlu diusahakan adanya keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.

Teori Piaget tentang Perkembangan Kognitif 02.54

Selain keterampilan laboratoris atau motoris, jenis keterampilan lain yang juga penting diperoleh siswa dari belajar Sains adalah keterampilan intelektual dalam menggunakan nalar. Untuk mencapai keterampilan minimal tersebut guru harus menyajikan pembelajaran Sains yang memberikan kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dialihgunakan. Kemampuan itu antara lain berupa

(a) kemampuan mengajukan pertanyaan (apa, bagaimana, mengapa) dan mencari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan,
(b) kemampuan mengajukan gagasan berdasarkan pengalaman dan penalaran terhadap kejadian di sekitarnya dan
(c) kemampuan bertindak berdasarkan nalar serta bertanggungjawab terhadap keteraturan sistem di alam.

Siswa akan memiliki kemampuan berpikir yang baik apabila siswa memiliki banyak pengalaman belajar. Carin & Sund (1989:22) menyatakan bahwa memperkaya pengalaman yang bermakna menimbulkan kaya akan berpikir. Sementara Tyler (1949:72) berpendapat bahwa pengalaman belajar sangat membantu siswa dalam memperoleh informasi yang fungsional sehingga akan sangat bermanfaat dalam mempersiapkan siswa menghadapi permasalahan. Pembelajaran atau pengalaman belajar yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah akan mewujudkan pengembangan kemampuan berpikir. Oleh karena itu mengajar untuk berpikir, berarti memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatih penggunaan konsep-konsep dan skema-skema dasar fenomena-fenomena berpikir. Pengalaman ini diperlukan supaya siswa memiliki struktur konsep yang dapat memberikan solusi terhadap sesuatu permasalahan. Dengan kata lain kemampuan berpikir akan membekali siswa dengan mekanisme yang diperlukan untuk menganalisis suatu permasalahan (Tyler, 1949: 68-71).

Seperti diungkapkan di muka, Sains sebagai mata pelajaran di sekolah dasar mulai diberikan di kelas III. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis. Usia anak kelas III SD pada umumnya berada pada rentang usia 8-13 tahun, yang oleh Oswald Kroh (dalam Kartini, 1990:137) dimasukkan pada masa realisme-kritis. Pada periode ini pengamatan anak bersifat realistis dan kritis. Anak pada usia ini sudah dapat:

a) mengadakan sintese-logis,
b) menghubungkan bagian-bagian dari suatu kejadian menjadi satu kesatuan atau menjadi satu struktur,
c) memilih dan mengolah informasi untuk digunakan mengambil keputusan (Fensham; Horsley, et al.; Yager dalam Panuel Adinawar N., 1997:7).

Sintese logis yaitu suatu kemampuan yang dimiliki anak dalam menjawab suatu permasalahan lengkap dengan alasan yang dapat diterima. Hal ini dapat terjadi karena munculnya pengertian, wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan.

Berdasarkan tinjauan psikologis di atas maka pembelajaran Sains di SD diutamakan pada cara membangun pengetahuan berdasarkan penga-matan, pengalaman, penyusunan gagasan, pengujian melalui suatu perco-baan atau penyelidikan dan pencarian informasi.

02.54

Konsepsi Dasar Manusia dalam Psikologi Kognitif 02.52

Psikologi kognitif berakar pada filsafat rasionalisme. Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan manusia, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Dalam banyak hal alat indera sering tidak akurat dalam memberikan informasi. Bukankah mata Anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah mata Anda memberikan stimuli bahwa pada batas permukaan air-udara sebatang tongkat yang tercelup sebagian jika diamati secara horizontal nampak patah? Sudah barangtentu Anda tidak menerima stimulus tersebut sebagai pengalaman belajar yang benar! Jika manusia tunduk sepenuhnya pada perlakuan lingkungan maka manusia akan memperoleh banyak hasil belajar yang superfisial (dangkal) dalam hal kebenaran.

Tokoh-tokoh psikologi kognitif sepakat bahwa jiwa lah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan bukan alat indera. Jiwa mengolah informasi pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima begitu saja. Stimuli melahirkan respon sesuai dengan tujuan dan pola yang ditentukan oleh pikiran. Tetapkanlah tujuannya: operasi pertambahan, dan stimuli "dua dan tiga" menimbulkan respons "lima". Tetapkan tujuannya perkalian, dan stimuli yang sama, sensasi auditif yang sama, "dua dan tiga" melahirkan respons "enam". Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kalau kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan," Demikian dipaparkan Jalaluddin Rakhmat (1989:30) .

Rasionalisme sebagai akar psikologi kognitif tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalis, adalah orang-orang Jerman: Meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu "pola" stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Huruf "I" akan dianggap sebagai angka satu dalam rangkaian "I, II, III, IV," tetapi menjadi huruf "el" dalam rangkaian hurup pada kata "AIasan" atau huruf "i" dalam "Indonesia". Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimuli itu sendiri. Di kalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi "Words don't mean, people mean", kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. (Jalaluddin Rakhmat, 1989:31)

Psikologi Gestalt melalui Wertheimer (1923) mengembangkan prinsip-prinsip (teori gestalt) berkenaan dengan persepsi kognitif terhadap obyek sebagai berikut. Pertama, Hukum Kedekatan (The Law of Proximity), elemen visual (terinderai) yang saling berdekatan satu sama lain akan dipersepsi sebagai bagian dari suatu kelompok. Informasi OOO OOO OOO secara segera akan dipersepsi sebagai tiga kelompok masing-masing beranggotakan tiga O, dari pada sebagai satu kelompok dengan anggota sembilan O. Dalam mengefektifkan kegiatan demonstrasi atau praktikum Sains, guru yang akan menyajikan sejumlah obyek yang harus diobservasi siswa semestinya mempertimbangkan betul peletakan obyek-obyek tersebut (benda atau gambar) sedemikian rupa sehingga observasi siswa lebih terfokus dan efektif. Jauhkanlah obyek yang tidak perlu diobservasi dari obyek yang diobservasi.

Kedua, Hukum Kesamaan (The Law of Similarity). Elemen-elemen visual yang memiliki kesamaan dalam banyak segi seperti bentuk dan ukuran akan cenderung dipersepsi sebagai satu kelompok yang sama. Hukum ini dapat diimplementasikan dalam mengefektifkan upaya guru mengembangkan keterampilan proses mengklasifikasi bagi siswa. Jika kepada siswa disajikan sejumlah benda (misalnya gambar-gambar hewan, tumbuhan, dan makhluk tak hidup) dengan beragam bentuk, ukuran, dan warna kemudian guru meminta siswa untuk mengklasifikasikan benda-benda tersebut secara bebas, maka siswa akan mengklasifikasikannya berdasarkan kesamaan segi yang nampak menonjol. Apabila guru meng-inginkan siswa mengklasifikasikan secara cepat berdasarkan karakteristik tertentu (misalnya hewan) maka sajikanlah gambar-gambar hewan tersebut dengan warna yang mencolok dan sama.

Ketiga, Hukum Arah Kelaziman (The Law of Common Direction); benda-benda atau sesuatu akan dipahami sebagai suatu kelompok (kesatuan) apabila nampak sebagai suatu rangkaian kontinum/sempurna yang mengarah kepada bentuk yang lebih dikenal.

yang membagi dua sebuah lingkaran. Sangat kecil kemungkinan dipersepsi sebagai dua belahan terpisah dari setengah lingkaran yang digabungkan oleh sebuah garis.

Keempat, Hukum Kesederhanaan (The Law of Simplicity); apa yang kita persepsi akan diorganisasikan ke dalam suatu bentuk keteraturan yang sederhana.

Dua hukum terakhir dari prinsip persepsi Gestalt dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Sains SD terutama untuk mengop-timalkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses memprediksi, melakukan ekstrapolasi, membaca grafik dan membuat kesimpulan.

Dari Gestalt kita mengetahui bahwa pada dasarnya manusia itu berpikir holistik (utuh-menyeluruh) terlebih pada usia kanak-kanak. Pada masanya, kanak-kanak belum dapat secara efektif berpikir parsial, spesifik, dan terkotak-kotak. Berdasarkan itu maka pembelajaran Sains di SD semestinya disajikan dalam bentuk yang holistik pula terpaut dengan dunia nyata anak dan mata pelajaran yang lain. Untuk itu lah, para pakar pendidikan dewasa ini menggagaskan tepatnya pembelajaran terpadu bagi anak SD.

Perlu juga diperhatikan bahwa kemampuan persepsi siswa terhadap informasi dalam pembelajaran Sains turut dipengaruhi oleh tingkat atensi (pehatian)nya terhadap obeyek-obyek yang diobservasi. Gerakan, intensitas stimuli, kebaruan (novelty), dan perulangan adalah faktor-faktor yang dapat dimanipulasi guru untuk meningkatkan atensi siswa terhadap obyek observasi.

Benda-benda yang bergerak cenderung menarik perhatian. Obyek yang ada di tangan guru yang digerakkan secara proporsional akan memancing perhatian guru. Movie-film akan lebih menarik siswa dari slide-film yang monoton. Ukuran suatu obyek yang cukup besar di antara obyek-obyek lain yang berukuran kecil, gambar berwarna merah menyala di antara gambar-gambar lain yang berwarna putih, akan lebih diperhatikan siswa karena merupakan obyek yang memiliki intensitas stimuli yang tinggi. Demikian halnya alat-alat peraga atau media yang beragam/berbeda dari biasanya yang disediakan guru dalam pembelajaran merupakan hal yang memberi kesan kebaruan yang akan menarik minat siswa. Sedangkan, obyek (gambar, benda, suara, kalimat, istilah) yang disajikan berulang-ulang akan mendapat perhatian utama dari siswa.

Yelon & Weinstein (1977) menyarankan langkah-langkah umum untuk mengefektifkan dan meningkatkan kemampuan persepsi siswa sebagai berikut.

1. Tonjolkanlah perbedaan dan ciri khusus dari obyek-obyek yang akan diobservasi dan dipersepsi siswa. Buatlah latar belakang gambar benar-benar berbeda dari gambarnya.

2. Pada tahap awal gunakan contoh-contoh yang telah dikenal siswa sehari-hari.

3. Mantapkan tujuan dan keinginan siswa dengan cara menanyai mereka, apa yang ingin didapat/dicari dalam kegiatan demonstrasi atau percobaan.

4. Contoh-contoh benda, gambar atau simbol yang memiliki karak-teristik atau makna yang sama diletakkan berdekatan.

5. Dalam kegiatan pembelajaran yang menuntut siswa mengklasifikasikan sesuatu, sajikan lah sesuatu itu dengan menggunakan prinsip kesamaan.

Matematika, Mitos Masyarakat, dan Implikasinya terhadap Pendidikan Matematika di Sekolah 02.32

Sejarah menunjukkan bahwa matematika dibutuhkan manusia. Dapatkah Anda membayangkan bagaimana dunia ini sekarang seandainya matematika tidak ada? Dapatkah Anda mendengarkan radio, melihat televisi, naik kereta api, mobil atau pesawat terbang, berkomunikasi lewat telepon atau Handphone (HP), dan lain sebagainya? Dapatkah Anda membayangkan kacaunya dunia ini seandainya orang tidak bisa berhitung secara sederhana, tidak bisa memahami ruang di mana dia tinggal, tidak bisa memahami harga suatu barang di suatu supermarket? Apa yang terjadi seandainya orang Malang mengatakan 7 + 5 = 12, sedangkan orang Surabaya berpendapat 7 + 5 = 75, atau kejadian-kejadian yang lain.

Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Sebab sesuai dengan gambaran di atas, ternyata matematika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Matematika selalu mengalami perkembangan yang berbanding lurus dengan kemajuan sains dan teknologi. Hal yang demikian, kebanyakan tidak disadari oleh sebagian siswa yang disebabkan minimnya informasi mengenai apa dan bagimana sebenarnya matematika itu. Dengan demikian, maka akan berakibat buruk pada proses belajar siswa, yakni mereka hanya belajar matematika dengan mendengarkan penjelasan seorang Guru, menghafalkan rumus, lalu memperbanyak latihan soal dengan menggunakan rumus yang sudah dihafalkan, tetapi tidak pernah ada usaha untuk memahami dan mencari makna yang sebenarnya tentang tujuan pembelajaran matematika itu sendiri.

Selama ini masyarakat memiliki persepsi (mitos) negatif terhadap matematika. Sebagaimana yang dikemukakan Frans Susilo dalam artikelnya di Majalah BASIS yang berjudul Matematika Humanistik, bahwa kebanyakan sikap negatif terhadap matematika timbul karena kesalahpahaman atau pandangan yang keliru mengenai matematika. Untuk memahami matematika secara benar dan sewajarnya, pertama-tama perlu diklarifikasi terlebih dahulu beberapa mitos negatif terhadap matematika. Beberapa di antara mitos tersebut, antara lain: pertama, anggapan bahwa untuk mempelajari matematika diperlukan bakat istimewa yang tidak dimiliki setiap orang. Kebanyakan orang berpandangan bahwa untuk dapat mempelajari matematika diperlukan memiliki kecerdasan yang tinggi, akibatnya yang merasa kecerdasannya rendah mereka tidak termotivasi untuk belajar matematika.

Mitos kedua, bahwa matematika adalah ilmu berhitung. Kemampuan berhitung dengan bilangan-bilangan memang tidak dapat dihindari ketika belajar matematika. Namun, berhitung hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan isi matematika. Selain mengerjakan penghitungan-penghitungan, orang juga berusaha memahami mengapa penghitungan itu dikerjakan dengan suatu cara tertentu.

Mitos ketiga, bahwa matematika hanya menggunakan otak. Aktivitas matematika memang memerlukan logika dan kecerdasan otak. Namun, logika dan kecerdasan saja tidak mencukupi. Untuk dapat berkembang, matematika sangat membutuhkan kreativitas dan intuisi manusia seperti halnya seni dan sastra. Kreativitas dalam matematika menyangkut akal-budi, imajinasi, estetika, dan intuisi mengenai hal-hal yang benar. Para matematikawan biasanya mulai mengerjakan penelitian dengan menggunakan intuisi, dan kemudian berusaha membuktikan bahwa intuisi itu benar. Kekaguman pada segi keindahan dan keteraturan sering kali juga menjadi sumber motivasi bagi para matematikawan untuk menciptakan terobosan-terobosan baru demi pengembangan matematika. Atau dengan kata lain untuk dapat mengembangkan matematika tidak hanya dibutuhkan kecerdasan menggunakan otak kiri saja, melainkan juga harus mampu menggunakan otak kanannya dengan seimbang.

Mitos keempat, bahwa yang paling penting dalam matematika adalah jawaban yang benar. Jawaban yang benar memang penting dan harus diusahakan. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain, dalam menyelesaikan persoalan matematika, yang lebih penting adalah proses, pemahaman, penalaran, dan metode yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan tersebut sampai akhirnya menghasilkan jawaban yang benar.

Mitos kelima, bahwa kebenaran matematika adalah kebenaran mutlak. Kebenaran dalam matematika sebenarnya bersifat nisbi. Kebenaran matematika tergantung pada kesepakatan awal yang disetujui bersama yang disebut ‘postulat’ atau ‘aksioma’. Bahkan ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran (truth) dalam matematika, yang ada hanyalah keabsahan (validity), yaitu penalaran yang sesuai dengan aturan logika yang digunakan manusia pada umumnya.

Dari kelima mitos yang dikemukakan oleh Frans Susilo di atas merupakan sebagian kecil yang terjadi dalam masyarakat. Menurut hemat penulis, masih ada mitos-mitos lain yang terjadi di masyarakat. Di antaranya adalah sebagai berikut.

04.08

Hallo, kak Tety..........

Definisi Pendidikan 04.04

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.